Papuaekspose.com, – Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Menuel John Magal mempertanyakan sentuhan kucuran dana kemitraan (1persen) PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang dikelola Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK).

Dana 1 Persen yang kini disebut Dana Kemitraan PTFI itu dikucurkan ke YPMAK atau nama sebelumnya LPMAK berkisar Rp800 miliar per tahun. Tujuanya adalah untuk pemberdayaan masyarakat suku Amungme – Kamoro dan 5 suku kekerabatan lain di Kabupaten Mimika sejak tahun 1996 dan akan terus berjalan hingga izin pertambangan Freeport di Papua berakhir pada 2041.

Dana 1 Persen itu diambil dari hasil penjualan produk (biji tambang) yang dikeruk pihak Freeport setiap tahun.

Ketua LEMASA, Manuel John Magal kepada Wartawan menyebutkan, manfaat dari dana kemitraan itu belum terdistribusi benefitnya dengan baik, sehingga belum menyentuh dan dirasakan langsung masyarakat akar rumput pemilik gunung emas yang diduduki tambang PT Freeport Indonesia.

John bahkan menilai, Dana besar itu masih misteri dan harus dibuka secara transparan dalam hal pengelolaannya.

“Dana 1 persen itu masih misteri dalam hal pengelolaannya di SLD dan YPMAK. Dana ini selama 28 tahun jadi misteri,” kata John Magal kepada wartawan Jumat 7 Juni 2024.

“Dana besar itu betul betul belum dirasakan masyarakat di akar rumput. Apa gunanya kemitraan kalau masyarakat akar rumput tidak merasakan manfaat benefit operasi tambang Freeport,” ujranya.

Menurutnya, Dana 1 Persen ini sudah dijelaskan Paul Murphy Komisaris PTFI dan Prihadi Santoso yang mewakili direksi PTFI bahwa, tujuan dana ini untuk pembangunan masyarakat Irian Jaya yang saat ini bernama Papua khususnya yang berdomisili di Kabupaten Mimika. Jelas sekali tujuan dana itu, untuk bidang ekonomi kerakyatan, pendidikan, asrama kemudian bengkel kepemilikan.

“Beasiswa bagi yang sekolah tingkat pelajar dan mahasiswa harus diberikan. Karena PTFI gunakan tanah milik orang Amungme dan Kamoro untuk keruk emas dan mineral lainnya. Perhatian khusus bagi yang tinggal di 5 Daskam sungai Kamoro, juga warga yang tinggal di Lembah Wa, Tsinga dan Arwanop,” beber John Magal.

Ketua Lemasa Magal menilai pengelolaan dana 1 persen sudah menyimpang dari tujuan awal.

“Dari penjelasan di dokumen awal perjanjian pemberian dana satu persen yang saya sampaikan, itu tidak jelas sampai di hari ini. Bukan hanya untuk suku Amungme dan Kamoro tapi juga 5 suku kerabat. Dana ini selama 28 tahun jadi misteri, sasaran utamanya adalah Amungme, Kamoro dan 5 suku kerabat. Tapi masyarakat mengeluh, demo protes dan segala macam. Jadi, dana tidak tepat sasaran,” jelasnya.

“Karena kenyataannya sekolah berantakan, pemberdayaan masyarakat juga tidak ada, tidak tahu masyarakat mana yang mereka bangun. Kok, bunyinya ratusan milyar tapi realisasi di masyarakat tidak ada. Saya minta PTFI dengan besar hati, misteri ini harus dibuka. Ini jadi luka dalam yang berbau busuk, harus dibuka!” tegasnya.

“Demo di atas demo, tapi didiamkan, ini tidak wajar. Harus ada solusi,” pintanya.

Dari pihak Lemasa sendiri juga menurutnya, sudah memikirkan solusi agar pengelolaan dana itu bisa tepat pada sasaran. Pihaknya bukan sekedar mengkritik tanpa menutup jalan penyelesaian bagi kebaikan semua pihak.

LEMASA sebenarnya sudah siap solusinya. Bukan hanya kami kritik tapi kami juga punya solusi. Ini kritik yang konstruktif,” ungkap John Magal.

Ia menyatakan, sebenarnya solusinya bisa dipikirkan bersama, dan hal itu bukan hal yang mustahil.

“Harus dicari jalan keluar. Semua pembangunan sosial akan lebih efektif, kalau masukan bukan hanya dari atas ke bawah, tapi harus dengar suara dari bawah. Tidak bisa paksakan hanya keinginan dari atas,” tambahnya.

Ia menegaskan LEMASA berdiri atas kemauan dan kepentingan masyarakat, bukan hanya jadi pelengkap untuk memuluskan program perusahaan.

LEMASA itu bukan perkumpulan LEMASA yang sekedar dibentuk untuk memuluskan rencana. Kami betul-betul berangkat dari masyarakat jadi pasti punya solusi,”

“Demo-demo yang terjadi, inilah efek dari perusahaan tidak melihat stake holder yang ada. Perhatian terhadap masyarakat di Waa Tsinga dan Arwanop, perhatian itu mati (tidak ada perhatian), apalagi yang di luar ring 1,” ungkapnya.

Menurutnya, program perusahaan tidak akan pernah memuaskan stake holder, yang dinilai dari kesejahteraan masyarakat.

“Tidak bisa itu, keberhasilan Cuma satu-dua orang yang di luar stake holder, baru diklaim sebagai binaan PTFI. Harus cari solusi,” tandasnya.

Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook