Papuaekspose.com – Gugatan yang dilayangkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diminta agar tidak ditindaklanjuti atau direspons. Permintaan itu disampaikan Presiden RI Prabowo Subianto yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, yang memohon agar MK menolak gugatan tersebut secara keseluruhan.

“Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing,” kata Leonard dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.

Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.

“Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” katanya.

Permintaan pemerintah ini berseberangan dengan DPR RI yang menilai permohonan tersebut perlu dikabulkan oleh MK.

Dalam persidangan yang sama, I Wayan Sudirta sebagai perwakilan DPR RI menyatakan permohonan Hasto terkait ancaman maksimal pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dikurangi dari 12 tahun menjadi 3 tahun harus dikabulkan oleh MK.

Alasannya senada, karena ancaman hukuman 12 tahun penjara dinilai lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.

Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.

Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.

“Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, 13 Agustus lalu.

Untuk diketahui, obstruction of justice mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.

Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap seperti merusak barang bukti diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.

“Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.

Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook