Masyarakat Adat Merauke Terdampak Proyek Strategis Nasional: Hutan, Hak dan Kehidupan Direbut Secara Paksa
Papuaekspose.com – Perwakilan Masyarakat Adat Merauke, Rufina Gebze menyebut pihaknya mendesak pemerintah Indonesia mengizinkan kedatangan sembilan pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) datang ke Papua.
Pasalnya Masyarakat Adat Merauke terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate di Merauke, Papua Selatan. Sebab menurutnya, kedatangan perwakilan PBB penting untuk melihat secara langsung dugaan terjadinya kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM dalam program PSN Merauke.
“Kami (Masyarakat Adat Merauke) minta PBB datang lihat langsung. Bagaimana hutan kami, hak kami, kehidupan kami direbut secara paksa,” kata Rufina Gebze dalam konferensi pers Solidaritas Merauke di Kantor PGI, di Jakarta, pada Selasa (17/6/2025) kemarin.
Rufina bercerita seluruh kampungnya di Onggari, Distrik Malind, Merauke, akan menjadi ladang tebu sebagai bagian dari PSN Merauke. Dia dan seluruh warga di kampungnya hanya disisakan lahan seluas satu hektare, klaim Rufina.
Nasib serupa juga dialami oleh Fransiskus Hubertus, Stevanus Gebze, dan Yasinta Gebze dari Masyarakat Adat Merauke dari Marind-Anim.
Selain itu, Vincen Kwipalo dari Masyarakat Adat Merauke dari Yei Nan, Aloysius Buja dari Wambon, dan Julius Tenot dari Masyarakat Adat Merauke dari Muyu, juga mengalami hal yang sama.
Sementara, Menteri HAM Natalius Pigai mengatakan pihaknya sedang mendorong pembangunan dan pengelolaan usaha berbasis HAM.
Upaya ini, kata Natalius, akan ditempuh melalui berbagai kebijakan dan regulasi, yakni dengan menyiapkan instrumen hukum tentang bisnis dan HAM yakni perpres, inpres, permen dan petunjuk teknis dan pelaksanan.
Sebelumnya, sembilan pelapor khusus PBB telah mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia dan perusahaan PT Global Papua Abadi, yang terlibat dalam PSN Merauke pada 7 Maret 2025.
Dalam suratnya, mereka meminta tanggapan dari kedua pihak atas dugaan dampak pelanggaran HAM dan lingkungan hidup dalam pengembangan PSN Merauke.
Pemerintah Indonesia telah membalas surat itu pada 6 Mei 2025, yang isinya membantah dugaan-dugaan pelanggaran yang terjadi. Namun, menurut Solidaritas Merauke, pihak perusahaan tak kunjung memberikan responsnya.
Pada 2023, pemerintah menetapkan Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan memasukkannya ke dalam daftar PSN.
Kawasan ini rencanannya akan menjadi sumber produksi padi, tebu, dan komoditas fleksibel lainnya di atas lahan seluas kurang lebih dua juta hektare, di lokasi yang menjadi rumah bagi masyarakat adat Malind, Yeinan, Maklew, Khimaima, dan Yei.
Perwakilan masyarakat adat di Merauke menilai respons pemerintah Indonesia itu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.
“Tidak betul, dia tipu. Tidak pernah kami diajak untuk sosialisasi,” tegas Yasinta dari Suku Marind-Anim.
“Hari ini mereka masih penggusuran, masih bongkar hutan, masih kerja pancang tiang untuk darmaga,” ujarnya kemudian.
Johnny Teddy Wakum dari LBH Pos Merauke memandang jawaban pemerintah Indonesia sama sekali tidak menjawab dugaan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Merauke.
“Cara ini mencerminkan sikap dan gaya pemerintah yang selalu dilakukan sejak Papua masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak menjawab persoalan inti,” tegasnya.
“Hentikan cara-cara pembohongan seperti ini. Hari ini Papua dalam konteks politik masih bermasalah, kita tidak boleh lagi memperpanjang persoalan ketidakadilan yang sedang terjadi di Papua,” katanya.
Teddy menegaskan penyerobotan tanah, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM masyarakat adat di Merauke sangat mudah terlihat dengan kasat mata.
Selain itu, koordinator LSM internasional GRAIN, Kartini Samon pun menyoroti pihak perusahaan yang tidak merespons surat dari sembilan pelapor khusus PBB itu.
“Hal ini juga menunjukkan bagaimana seakan ada pembiaraan dan impunitas terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia hari ini,” kata Kartini.
Untuk itu, lanjutnya, Solidaritas Merauke meminta agar para pelapor khusus PBB ini melakukan pemantauan dan investigasi secara langsung di Merauke dan mendesak pemerintah Indonesia agar mengizinkan kedatangan mereka.
Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook