Papuaekspose.com – Mendagri Tito Karnavian hadir langsung dalam rapat ini. Ia didampingi Wamen Ribka Haluk dan Wamen Bima Arya. Tito pun menjawab masalah demokrasi yang banyak disorot dan disebut mengalami kemunduran.

Tito mengatakan, memang saat ini masih menjadi pertanyaan besar apakah perlu ada desain ulang terhadap sistem demokrasi di Indonesia terutama menyangkut Pemilu dan Pilkada. Masalah ini masih harus dibahas secara cermat antara pemerintah dengan dewan.

“Sistem demokrasi dan Pilkada, kami berpendapat bahwa apakah perlu redesain sistem demokrasi? Dan itu berimplikasi pada redesain sistem Pemilu dan Pilkada,” kata Tito.

Eks Kapolri ini membeberkan dirinya pernah membaca tulisan eks PM Malaysia Mahathir Mohamad pada medio 1990. Tulisan itu sangat menarik karena menyangkut demokrasi. Ia menjabarkan, tulisan Mahathir ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

“Saya tertarik pada satu tulisan yang dibuat Mahathir Mohammad pada tahun 1990 setelah Uni Soviet pecah, menandai posisi yang dulunya bipolar orang mengatakan multipolar, kalau saya berpendapat monopolar, dominasi oleh barat dan barat menginfus paham demokrasi liberal ke mana-mana,” ucap Mendagri Tito Karnavian.

“Dan yang dianggap tidak liberal tumbang seperti di Irak, Libya dan lain-lain, Arab Spring di saat itu terjadi fenomena besar demokratisasi melanda dunia,” tambah dia.

Tito lantas menyinggung analisa dari pakar politik asal Amerika Fancis Fukuyama yang menyampaikan akan terjadi satu gelombang ketiga yaitu demokratisasi. Apa yang disampaikan Fukuyama tidak jauh berbeda dengan yang dipikirkan Mahathir.

“Mahathir saat itu menulis menghadapi demokrasi liberal setelah runtuhnya Komunis Soviet, mana yang harus kita dahulukan? Demokrasi atau welfare, kesejahteraan? Wich one must come firstDemocracy or Wellare?” kata Tito.

“Bukan menggurui tapi ini menuntut pilar cara berpikir kita menghadapi situasi di Indonesia saat ini. Demokrasi dulu atau kesejahteraan dulu?” tanya dia.

Eks Kapolda Metro Jaya ini mengatakan, Mahathir dalam tulisannya mengingatkan jika demokrasi diprioritaskan, diimplan, diimpuls pada masyarakat yang didominasi low class sebagian besar tidak terdidik, terlatih, yang terjadi adalah manipulasi demokrasi.

“Demokrasi akan diselewengkan dan akan disalahgunakan para penguasa, entah penguasa politik atau penguasa materi atau yang memiliki kekuasaan untuk membentuk opini publik seperti mohon maaf pemilik media dan lain-lain,” kata Mendagri Tito Karnavian.

Tito pun menyinggung akan ada banyak keburukan seperti kebebasan berpendapat dan berkumpul yang kebablasan. Masalah ini akan berbahaya jika masyarakat belum terpelajar dan memahami apa itu demokrasi.

“Kita tahun 98, saya ulangi kemudian kita dianggap sebebas-bebasnya dianggap membuat terjadi konflik horizontal dan vertikal itu menurut hipotesis Mahathir,” ucap dia.

Eks Kepala BNPT ini mengatakan, menurut Mahathir, jalan terbaik sebelum menerapkan demokrasi sepenuhnya yakni melalui welfare atau kesejahteraan rakyat. Ia mengambil contoh negara Singapura yang menerapkan hal ini.

“Jalan kedua welfare first, kesejahteraan dulu, demokrasi enggak perlu terbuka dulu menurut dia, demokrasi terbatas tapi kedepankan rakyatnya sejahtera supaya begitu kelas menengah makin besar, mereka terdidik, terlatih, maka ruang demokrasi freedom-nya dibuka sering makin dewasanya demokrasi, dan dia memilih jalan kedua, Singapura memilih jalan kedua banyak negara milih jalan kedua,” ucap dia.

Mendagri Tito Karnavian mengatakan, Indonesia setelah krisis 1998, lebih memilih mengambil jalan pertama. Artinya, langsung memilih demokrasi tanpa mengutamakan kesejahteraan rakyat.

“Kita 98, suka atau tidak suka yang kita pilih adalah jalan pertama, yaitu demokrasi first dan itulah yang terjadi impaknya, kita tahu setelah itu terjadi konflik atas nama keagamaan di Ambon, Poso, terorisme karena ada ideologi yang menggunakan kekerasan diberi ruang dan seterusnya,” tegas Mendagri Tito Karnavian.

“Ini the price we to pay, ini harus kita bayar dengan ambil jalan pertama,” ucap dia.

Mendagri Tito Karnavian kemudian memberikan solusi untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia. Ia menyebut, solusi ini sudah disampaikan LIPI dari hasil penelitian dan survei mereka sebanyak dua kali.

“Ada beberapa studi di-publish seperti LIPI yang dua kali buat survei penelitian Pilkada. Saya (pernah) sampaikan di kabinet lalu, di awal tahun sampaikan tapi saya di-bully, yaitu menawarkan Pilkada asimetris dengan melihat 3 variabel,” kata Tito.

  • Variabel pertama adalah literasi demokrasi. Tito mengatakan ini kualitatif dan dikuantitatifkan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di masing-masing daerah. IPM ini dibagi tiga menjadi level yakni tinggi, sedan dan rendah.

“IPM tinggi, Pilkada langsung oke,” ucap Tito.

  • Variabel kedua adalah melihat kemampuan fiskal di daerah. Ia mengatakan, pendapatan daerah hanya ada dua yang menjadi tumpuan yakni transfer pusat dan pendapatan asli daerah (PAD).

Ia menyinggung darah kuat seperti Banten yang angka PAD mencapai 73%, Jakarta 70%. Artinya, mereka tidak tergantung dengan transfer dari pemerintah pusat. Namun, daerah seperti Papua dan Indonesia Timur, PAD mereka hanya 5-10%. Dengan begitu, secara finansial mereka tidak sanggup menggelar Pemilu-Pilkada.

“Pendapatan transfer pusat uang habis buat operasional pegawai. Bagaimana ruang fiskal buat Pilkada? Sulit, makanya banyak di-intercept, uangnya habis, belum lagi kalau Pilkada 2 kali ada PSU, cari uangnya potong lagi anggaran pendidikan, kesehatan infrastruktur yang wajib-wajib,” ucap Tito.

“Sehingga jika fiskal kuat, boleh Pilkada, yang sedang 50:50 antara transfer pusat dan PAD lanjut Pilkada langsung, tapi yang lemah entar dulu, apakah mungkin lewat DPR, DPRD atau penugasan,” kata Tito.

  • Variabel ketiga, Pemilu one man one vote rentan memicu konflik. Oleh sebab itu, meski ada daerah yang memiliki fiskal kuat untuk Pemilu, Pilkada, lebih baik ditiadakan karena akan memicu konflik sosial.

“Ketiga LIPI sampaikan potensi konflik sosial ketika one man one vote diterapkan, akan memecah simpul kebersamaan mereka, sehingga mereka jadi konflik kekerasan. Lebih baik jangan dilaksanakan Pilkada langsung, dilakukan asimetris,” kata Tito.

“Untuk IPM kuat dan sedang, fiskal kuat dan sedang dan tidak memecah konflik (bisa Pilkada langsung), tapi kalau misal ada salah satu akan memecah simpul sosial meski uangnya ada seperti di Timika Rp 1,3 T, tapi ikatan kesukuan tinggi, itu melalui DPRD kalau 3 faktor IPM rendah, masyarakat milih pemimpin mau ngapain, pragmatis,” tutup dia.