Penyadapan Oleh Penegak Hukum Diusulkan Dihapus, Peradi : Bisa Membuka Celah Penyalahgunaan Kewenangan Aparat
Papuaekspose.com – Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sapriyanto Refa, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan menyatakan pihaknya mengusulkan agar ketentuan mengenai penyadapan tidak dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Penyadapan dinilai Peradi sebagai bentuk upaya paksa yang berpotensi disalahgunakan jika tidak diawasi secara ketat.
“Mengusulkan dalam upaya paksa yang dimiliki ini untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini, penyadapan ini harus dihilangkan karena kami khawatir penyadapan ini akan disalahgunakan oleh penyidik dalam mengungkap sebuah tindak pidana,” kata Sapriyanto Refa di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Menurut dia, ketentuan soal penyadapan saat ini sudah diatur secara khusus dalam sejumlah undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan Undang-Undang Kepolisian.
Oleh karena itu, ia menilai tidak perlu ada duplikasi pengaturan dalam KUHAP.
“Nah, biarlah itu menjadi ranah undang-undang itu sendiri, tidak perlu kita tarik ke dalam KUHAP,” tambah dia.
Sapriyanto menegaskan pentingnya menjaga akuntabilitas penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia dalam proses penyidikan.
Menurut dia, memasukkan penyadapan ke dalam KUHAP yang bersifat umum bisa membuka celah penyalahgunaan kewenangan aparat.
Usulan ini menjadi bagian dari sejumlah masukan Peradi terhadap draf RUU KUHAP yang tengah dibahas di DPR.
Dalam forum yang sama, Komisi III juga mendengarkan pandangan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memuat aturan penyidik bisa melakukan beberapa upaya paksa.
Hal ini diatur dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf f. Draf ini melansir Kompas.com dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni pada Selasa (18/3/2025).
“Melakukan Upaya Paksa,” bunyi pasal tersebut.
Dalam draf yang sama, Pasal 84 juga mengatur soal ketentuan bentuk upaya paksa yang meliputi penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, pemeriksaan surat, dan larangan bagi tersangka untuk keluar wilayah Indonesia.
Draf RKUHAP juga mengatur soal rincian mekanisme berbagai bentuk upaya paksa tersebut.
Di draf yang sama, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti guna membuat terang tindak pidana serta menemukan tersangka.
Kemudian, kategori penyidik dalam Pasal 6 Ayat (1) terdiri atas penyidik Polri, PPNS, dan Penyidik Tertentu.
Di bagian Penjelasan Pasal 6 Ayat (1) draf RKUHAP disebutkan maksud dari PPNS adalah PPNS Bea Cukai, Imigrasi, Tera, Perikanan, Lalu Lintas, dan Angkutan Jalan.
“Yang dimaksud dengan ‘Penyidik Tertentu’ misalnya Penyidik Tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Penyidik Tertentu Kejaksaan, dan Penyidik Tertentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam undang-undang,” tulis bagian penjelasan.
Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook