Papuaekspose.com – Kebijakan ugal-ugalan beberapa kepala daerah dalam menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dipicu gegara Pemerintah Pusat yang memangkas anggaran. Hal ini diungkap pakar hukum dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Prof Jawade Hafidz.

Prof Jawade Hafidz mengingatkan bahwa kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak bisa sekadar hanya mengandalkan aturan hukum.

“Secara hukum memang sah, karena sesuai dengan Undang–Undang No. 1 Tahun 2022 soal hubungan keuangan pusat dan daerah,” ujar Prof Jawade Hafidz di Semarang belum lama ini.

Respons ini menanggapi langkah Pemerintah Kabupaten Pati yang sempat menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250 persen. Kebijakan itu langsung memicu gelombang protes dari masyarakat karena dianggap memberatkan.

Menurut Prof Jawade Hafidz, pemerintah daerah memang punya kewenangan menentukan tarif pajak, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Tapi, ia menekankan bahwa kebijakan semacam ini tidak boleh semata-mata bertujuan meningkatkan pendapatan daerah.

“Kebijakan yang langsung menyentuh kantong rakyat harus dibarengi dengan kajian sosial ekonomi dan diskusi publik yang terbuka. Jangan asal naik,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa meski secara aturan tidak menyalahi batas maksimal, kenaikan yang terlalu tajam bisa menimbulkan keresahan jika tidak disertai pendekatan yang manusiawi.

“Pajak itu alat pembangunan dan keadilan. Tapi kalau dipaksakan tanpa melihat kemampuan rakyat, malah bisa kehilangan legitimasi di mata publik,” lanjutnya.

Tak hanya itu, Prof Jawade Hafidz juga menegaskan pentingnya transparansi dalam penggunaan dana pajak. Proyek-proyek seperti infrastruktur atau rumah sakit harus dijalankan secara akuntabel agar tidak menggerus kepercayaan masyarakat.

Setelah melihat reaksi keras dari warga, Bupati Pati Sudewo akhirnya resmi membatalkan kenaikan PBB-P2 tahun 2025. Ia menyatakan tarif akan kembali seperti tahun 2024.

“Bagi warga yang sudah bayar dengan tarif baru, selisihnya akan dikembalikan,” jelasnya. Pengembalian itu akan diatur oleh BPKAD bersama kepala desa.

Meski kebijakan dibatalkan, gejolak belum mereda. Ribuan warga tetap turun ke jalan menuntut Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Mereka menilai langkah awal Sudewo memberlakukan kenaikan pajak mencerminkan sikap arogan seorang pemimpin.

Berkomentarlah dengan baik dan bijak menggunakan facebook