Papuaekspose.com – Unjuk rasa menolak program transmigrasi yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto di Tanah Papua dilakukan mahasiswa dan warga yang tergabung dalam Front Mahasiswa dan Rakyat Papua, Senin (4/11/2024).

Massa mendesak agar polisi memberikan akses bagi mereka untuk menuju Kantor DPRD Papua Barat di kawasan Perkantoran Arfai.

Namun barikade yang dibentuk polisi memaksa mereka untuk melakukan orasi di tempat itu sehingga aksi unjuk rasa tersebut sempat memicu ketegangan antara massa dan aparat kepolisian di kawasan perempatan Makalow, Manokwari, Papua Barat.

Akibatnya, arus lalu lintas di kawasan tersebut lumpuh selama beberapa jam.

Kordinator Aksi, Yulianus Niko, saat membacakan aspirasi, menyatakan, program transmigrasi di Tanah Papua sudah dimulai sejak tahun 1966, empat tahun setelah Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia.

“Petak-petak tanah bagi para transmigran pertama kali dibuka di kawasan Aimas, Sorong, Papua Barat Daya,” kata dia.

“Tanah tersebut sebelumnya diwariskan secara turun temurun, namun Pemerintah mengubah status tanah menjadi milik Negara,” ungkap Yulianus di hadapan Ketua DPRD Papua Barat.

Yulianus menambahkan, program transmigrasi sempat dihentikan melalui keputusan Gubernur Irian Jaya saat itu, Barnabas Suebu.

Namun menurut dia, Otonomi Khusus menjadi rangkaian baru yang memungkinkan pengesahan program transmigrasi dilanjutkan secara masif.

“Di Merauke, Papua Selatan, 10 distrik ditetapkan sebagai kawasan transmigrasi oleh Suharto melalui keputusan presiden,” sambung dia.

Sejumlah distrik yang menjadi tujuan transmigrasi selama era Orde Baru antara lain Distrik Orensbari di Manokwari Selatan, Distrik Prafi di Kabupaten Manokwari, serta Arso di Jayapura.

Lalu, Kabupaten Timika, Kabupaten Teluk Bintuni, dan Distrik Jendidore di Kabupaten Biak, Papua.

“Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2016 menunjukkan, daerah dengan kawasan transmigrasi memiliki indeks tertinggi, secara berturut-turut Kota Jayapura, Timika, Biak, Kabupaten Jayapura, Merauke, dan Nabire berada di urutan pertama pada IPM 2023, ditambah Kota Sorong dan Manokwari,” papar Yulianus.

Dia juga merujuk pada hasil sensus BPS tahun 1971 dan 2000, yang menunjukkan laju pertumbuhan penduduk asli Papua lebih rendah dibandingkan penduduk non-Papua setiap tahunnya.

Ketua DPRD Papua Barat, Orgenes Wonggor, yang menemui langsung massa aksi, menegaskan, tiga dari lima fraksi di DPRD Papua Barat telah menyatakan penolakan terhadap program transmigrasi.

“Tanpa demo, kami di DPRD sudah menyatakan penolakan dari tiga fraksi,” kata Wonggor di hadapan massa.

Meski demikian, Wonggor berjanji akan menindaklanjuti aspirasi mahasiswa yang telah disampaikan dalam rapat internal dewan yang akan digelar dalam waktu dekat.

“Kami akan menindaklanjuti sesuai mekanisme internal dan akan melaporkan ke pimpinan DPRD di Pusat,” ujar dia.

Usai menemui pengunjuk rasa, Orgenes menekankan penolakan terhadap program transmigrasi yang digagas oleh Pemerintahan Prabowo harus dilakukan sejak awal. Meskipun, saat ini belum ada gambaran mengenai jumlah transmigran yang akan dikirim ke Papua Barat.

“Itu rencana pusat, memang masih dalam tahap rencana, tetapi sudah pasti akan dilaksanakan,” kata dia.

“Jadi, mahasiswa menyampaikan aspirasi untuk menolak transmigrasi di Papua Barat dan Tanah Papua,” tegas Orgenes.

Ia juga mengakui, ada dampak positif dari program transmigrasi, namun berdasarkan aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa, penolakan terhadap program tersebut tetap harus dilakukan.

Aksi massa yang dilakukan oleh kelompok solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua ini dikawal oleh puluhan aparat Dalmas dari Kepolisian Resort Kota Manokwari, serta dibantu oleh Brimob dan Anggota TNI.